Sering kita mendengar bahwa kewajiban haji dan umroh itu hanyalah bagi mereka yang mampu. Definsi “mampu” di sini adalah kemampuan finansial untuk berangkat ke tanah suci. Adapun dalil yang biasa kita dengar adalah:
Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam. (QS. Ali Imron: 97)
Nah, benarkah Allah SWT mewajibkan haji dan umroh sebatas kemampuan finansial? Sebab jika “ada uang” adalah sebagai ukuran mampu tidak mampu, maka seharusnya lebih banyak yang tidak bisa naik haji ketimbang yang bisa. Pada kenyataannya, justru banyak mereka yang secara materi termasuk golongan tidak mampu malahan bisa menunaikan ibadah haji daripada mereka yang mapan secara finansial. Contohnya, petani yang sudah sepuh di Banjarmasin yang bisa berangkat haji dengan modal shalawat terus menerus setiap hari. Ditakdirkan Allah menemukan barang berharga di tanah garapannya, lalu dijual dengan nilai yang bisa mengantarkannya berangkat haji berdua dengan istrinya. Dia tidak punya kemampuan finansial, tapi dia masih punya kemampuan untuk membaca shalawat. Maka lewat perantara shalawat-lah dia berangkat haji.
Ada juga pemulung wanita berumur 69 tahun, tidak punya uang, tidak punya suami, hanya bermodalkan sholat tahajud dan mengaji bisa menjadi jalan rezekinya untuk berangkat haji. Atau pembaca pernah mendengar kisah tukang gorengan yang diberangkatkan umroh karena sering bersedekah pentil singkong kepada anak SD yang kelaparan. Yang memberangkatkannya adalah si anak tersebut 30 tahun kemudian setelah sukses meniti karir.
Mampu itu subjektif dan kita tidak tahu sebatas mana kemampuan kita. Di luar haji dan umroh, banyak orang-orang yang mendapat cobaan yang luar biasa beratnya sehingga menurut kita sebagai orang luar memandang masalah yang dihadapi orang tersebut di luar kemampuannya. Padahal mereka sendiri menjalaninya biasa-biasa saja. Dan Allah SWT pun berjanji tidak memberikan cobaan di luar batas kemampuan. Apakah berarti Allah SWT mengingkari janjiNya? Subhanallah, tentu saja tidak. Tapi kitalah yang membatasi diri kita mengenai mampu dan tidak mampu.
Ada orang yang terkena tumor otak masih bisa ketawa-ketawa, sementara mereka yang baru terkena bisul saja sudah mengeluh dan gelisah. Ada yang ditakdirkan punya hutang ratusan juta rupiah dan diancam masuk penjara tapi masih bisa tersenyum, sementara ada juga yang punya hutang di warung tapi sudah merasa hidupnya penuh ancaman.
Di luar konteks haji dan umroh, misalnya dari sisi hafalan Qur’an, bukankah kita sering melihat ada orang yang tuna netra tapi bisa menghafal seluruh isi Al Qur’an? Bukankah kita sering mendengar mereka yang sibuk luar biasa dalam urusan duniawi ternyata juga seorang hafidz? Dan bukankah kita sering menyaksikan banyak bocah-bocah yang bahkan belum bisa membaca huruf latin tapi ternyata sudah bisa menghafal kalam Ilahi? Jika diukur dari kacamata kita, tentu harusnya mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghafalkan Al Qur’an.
Kembali ke konteks ibadah haji, jadi selama kita mampu melakukan amalan-amalan yang disukai Allah SWT seperti tahajud 11 rakaat, sholat dhuha 12 rakaat, sedekah dengan harta terbaik, berbakti kepada orang tua, berdakwah, berzikir ribuan kali per hari, membaca Al Qur’an minimal 1 juz per hari, maka itu artinya kita masih mampu untuk menunaikan haji dan umroh. Sebab, baik ikhtiar mencari uang maupun ikhtiar meningkatkan ibadah, kedua-duanya bisa mengantarkan kita ke tanah suci, insya Allah.
Comments
Post a Comment