Saat umat Islam di Indonesia dipertontonkan dengan berbagai episode-episode kezaliman yang dilakukan para penguasa, mulai dari kriminalisasi ulama, ketiimpangan hukum, pemberitaan yang tidak seimbang, celaan para buzzer, fitnah dan sebagainya, maka ghiroh umat untuk membela agamanya meningkat. Tidak saja bagi mereka yang orang santri, bahkan mereka yang “Islam KTP” pun bangkit melawan oleh apa yang mereka sebut sebagai kezaliman. Di sinilah timbul masalah baru: militansi yang tidak diiringi literasi. Muncul postingan di grup-grup WA yang menggambarkan keburukan penguasa, atau sesuatu yang menambah keimanan orang yang membaca. Di- sharing tanpa disaring. Tersebar ke berbagai media sosial. Dibaca oleh jutaan orang, walau kebenarannya belum tentu akurat. Ingat kasus foto jenazah laskar FPI yang ditembak mati aparat dalam kondisi senyum? Setelah tersebar kemana-mana, pemilik wajah asli foto itu ternyata masih hidup, dan memang orangnya murah senyum. Dengan sedikit sentuhan Photoshop
sumber: https://www.pmcpl-india.com/ Prestasi dan kontribusi adalah dua hal yang berbeda. Orang yang berprestasi, belum tentu berkontribusi. Orang yang berkontribusi, otomatis mendorong prestasi. Prestasi adalah personal, sedangkan kontribusi adalah sosial Prestasi adalah pencapaian, sedangkan kontribusi adalah pengabdian. Prestasi diukur dari apa yang kita capai, sedangkan kontribusi diukur dari seberapa besar manfaat yang diterima orang lain Dakwah itu mengejar kontribusi, bukan prestasi Fokus pada kontribusi, prestasi akan mengikuti. Dakwah Nabi Nuh butuh waktu 950 tahun “hanya’ mendapatkan 80 pengikut. Tapi kontribusi dakwahnya nyata sampai sekarang, terpahat dalam Al Qur’an, menjadi referensi generasi umat Islam ribuan tahun setelahnya. Nabi Ibrahim memang tidak berhasil membuat Namrudz beriman, tapi kontribusi dakwahnya kepada raja zalim itu mengajarkan logika debat berbasis akal sehat tentang Ketuhanan yang diterima oleh generasi setelahnya. Nabi Musa tidak pun